Tercekik Digital: Mengungkap Rahasia Tekanan Mental Era Layar Tanpa Henti

SHARE THIS POST

Tekanan Mental Di Balik Layar

Pernah nggak sih, kamu lagi scroll TikTok, buka WhatsApp, lanjut buka Instagram, terus YouTube… lalu balik lagi ke TikTok — dan ujung-ujungnya kamu merasa lelah, tapi kosong? Bukan lelah fisik, tapi semacam “mental fatigue digital” atau brain rot. Seakan kamu habis berinteraksi dengan seluruh dunia, tapi tak satupun percakapan benar-benar menyentuh.

Copilot 20250717 101850
Ilustrasi Brain Rot.
AI/Indodailypost

Kita hidup di zaman yang katanya paling “terhubung” sepanjang sejarah umat manusia. Tapi kenapa justru makin banyak orang merasa sendirian?

Di sinilah letak ironi era digital: semua terasa dekat, tapi emosi terasa jauh dan tanpa sadar kamu telah mengalami tekanan mental.


Doomscrolling dan Konten Negatif yang Menggerogoti

Kalau kamu sering scroll berita-berita buruk berjam-jam, bahkan saat mata udah sepet — kamu sedang terkena gejala doomscrolling.

Doomscrolling itu kebiasaan menelusuri informasi negatif secara kompulsif. Biasanya mulai dari headline “krisis ekonomi global” → “bencana alam” → “isu politik” → “toxic selebriti” → lalu berakhir di thread komentar yang penuh debat kusir. Niatnya cari tahu, tapi malah jadi berita buruk sebagai candu.

Menurut penelitian dari University of Florida (2022), individu yang melakukan doomscrolling secara rutin cenderung mengalami peningkatan stres, kecemasan, dan rasa tidak berdaya. Aktivitas ini bisa memicu reaksi fight-or-flight dalam tubuh, padahal kita cuma duduk sambil pegang HP!

Yang lebih bahaya: kita nggak sadar sedang kecanduan konten destruktif. Kita pikir, “Ah, cuma mau update info,” padahal udah 2 jam scroll berita negatif tanpa henti.

Baca Juga:  Cara Mengelola Stres untuk Hidup Sehat: Kunci Panjang Umur dan Kesehatan Optimal

Dan ini bukan cuma terjadi di berita.

Konten toxic bisa dalam bentuk gosip seleb, video viral yang penuh kekerasan verbal, atau bahkan akun-akun yang seolah motivational tapi justru bikin kamu insecure. Semua ini menyedot energi mental tanpa ampun. Sepele, tapi ini bisa memicu seseorang mengalami tekanan mental.


Kesepian Sosial di Tengah Koneksi Virtual

Copilot 20250717 102606

Ini bagian paling nyesek. Kesepian dalam keramaian digital.

Kita punya ratusan bahkan ribuan “teman” di media sosial. Tapi saat ada masalah, berapa yang bisa kita telepon tengah malam?

Interaksi virtual tanpa kehangatan sering menipu otak kita seolah kita sudah ‘bersosialisasi’, padahal tidak. Like, emoji, atau DM singkat tidak menggantikan pelukan, tatapan, atau tawa tulus bareng teman-teman.

Dalam studi dari American Psychological Association (2021), ditemukan bahwa 80% Gen Z merasa kesepian secara kronis meskipun aktif di media sosial. Banyak dari mereka mengalami koneksi semu, di mana hubungan online hanya sebatas notifikasi.

Salah satu teman saya cerita, dia merasa lebih dekat dengan tokoh YouTube favoritnya daripada orang di rumah sendiri. Ini realita yang menyedihkan, tapi umum terjadi.

Hubungan digital bisa cepat dan instan, tapi sering kehilangan kedalaman emosional. Kita jadi makin sulit membangun keintiman nyata — karena semuanya disaring oleh layar.


FOMO, Notifikasi, dan Otak yang Lelah Terus

Fear of Missing Out (FOMO) itu nyata dan merusak.

Setiap kali kita lihat story teman lagi traveling, nonton konser, atau buka usaha baru — ada dorongan psikologis yang bilang, “Aku tertinggal.” Padahal kita nggak tahu konteks hidup mereka. Tapi otak kita bereaksi seolah kita gagal.

Ditambah lagi, notifikasi sebagai pemicu stres bekerja seperti alarm bahaya kecil yang terus-menerus berdentang.

Baca Juga:  Rahasia di Balik Keberuntungan yang Tidak Pernah Diketahui

Setiap “ting!”, otak kita melepaskan dopamin digital — hormon yang sama saat kita dapat reward. Sayangnya, terlalu sering kena stimulasi ini bikin sistem reward otak kacau.

Kita jadi cepat bosan, susah fokus, dan lebih reaktif.

Studi dari Harvard Business Review (2023) menyebutkan bahwa rata-rata orang membuka ponsel 96 kali per hari — artinya setiap 10-15 menit! Otak tak pernah punya waktu untuk istirahat.

Dan ini bukan soal disiplin semata, tapi sistem teknologi memang dirancang agar kamu tak berhenti memakainya.


Diet Digital dan Teknologi yang Lebih Sadar

Copilot 20250717 102144
Jika mengalami tekanan mental digital maka perlu melakukan diet digital.
AI/Indodailypost

Nah, ini bagian penyelamat tekanan mental di era digital yaitu diet digital.

Konsep ini bukan sekadar “puasa layar” asal-asalan, tapi mengelola hubungan kita dengan teknologi agar lebih sehat dan seimbang.

Teknologi sadar (mindful technology use) mengajarkan kita untuk tidak anti-gadget, tapi melek konteks.

Berikut beberapa tips diet digital setelah burnout digital untuk menghindari tekanan mental :

1. Tentukan waktu layar aktif

Bukan cuma untuk anak-anak, orang dewasa juga perlu jadwal screen time. Misalnya: no screen 1 jam sebelum tidur.

2. Jadwalkan detox mingguan

Minimal satu hari dalam seminggu tanpa media sosial. Gunakan untuk reconnect dengan diri sendiri dan dunia nyata.

3. Atur ruang bebas gadget

Meja makan, kamar tidur, dan waktu kumpul keluarga adalah zona bebas HP.

4. Nonaktifkan notifikasi tidak penting

Matikan push notification untuk semua aplikasi kecuali panggilan dan pesan darurat.

5. Evaluasi konten yang dikonsumsi

Tanya ke diri sendiri: apakah akun ini memberi nilai positif, atau bikin aku merasa kurang?

Keseimbangan online-offline bukanlah sesuatu yang instan. Tapi bisa dilatih perlahan. Dan percayalah, rasanya melegakan saat kita bisa menolak FOMO dengan tenang.

Baca Juga:  10 Manfaat Banyak Membaca Setiap Hari: Rahasia Kesehatan Mental dan Memperkuat Otak

Saatnya Memberi Napas bagi Pikiran

Pada akhirnya, bukan teknologinya yang salah. Tekanan mental bisa muncul sebagai dampak dari konsumsi digital berlebih.

Teknologi bisa jadi jembatan, tapi juga bisa jadi dinding. Semua tergantung bagaimana kita memakainya.

Kalau hari-hari ini kamu merasa letih, gampang marah, cepat cemas tanpa sebab jelas — mungkin bukan karena kamu lemah. Tapi karena adanya tekanan mental sebab otakmu kelebihan rangsangan dan jiwamu butuh ruang untuk diam.

Sudahkah kamu memberi waktu bagi pikiranmu untuk bernapas tanpa layar?