Suasana ruang tunggu di klinik bersalin seringkali lebih mirip ruang ngobrol ibu-ibu komplek ketimbang ruang medis. “Eh, kamu kemarin ngidam rujak ya? Wah, pasti anaknya cewek tuh!” sambil menyodorkan pisang goreng. Di pojok, ada yang nyeletuk, “Kalau air ketubannya belum muncrat kayak di sinetron, itu belum tanda lahiran katanya.”
Daftar isi
Kalau didengar sepintas, memang bikin ketawa. Tapi kalau dipikir ulang, banyak banget mitos seputar kehamilan dan melahirkan yang bikin para bumil jadi overthinking. Padahal, sebagian besar nggak ada dasarnya sama sekali.
Saatnya membongkar kebiasaan warisan turun-temurun ini—karena melahirkan itu bukan soal takhayul, tapi tentang tubuh dan ilmu pengetahuan.
Daftar Salah Kaprah Melahirkan: Lucu, Tapi Sering Bikin Bingung

Gambar: AI/Indodailypost
1. “Kalau Ngidam Asam, Anaknya Cewek!”
Ini mitos sejuta umat. Katanya, ngidam makanan asam atau segar-segar itu tanda kalau si jabang bayi perempuan. Kalau ngidamnya yang asin-asin atau daging, katanya laki-laki.
Faktanya? Belum ada penelitian medis yang menyatakan jenis ngidam berhubungan dengan jenis kelamin bayi. Ngidam lebih dipengaruhi oleh perubahan hormon dan kebutuhan nutrisi ibu hamil.
Ngidam bukan ramalan gender, bu. Kalau ngidam tahu bulat, bukan berarti anaknya nanti suka dagang tahu juga, kan?
2. “Pecah Ketuban Itu Pasti Deras dan Dramatis!”
Gambaran di sinetron sering banget memperlihatkan ibu hamil yang tiba-tiba berdiri, lalu… byuurrr! Ketubannya pecah seolah ada air kolam mini yang tumpah.
Kenyataannya? Pecah ketuban bisa sangat pelan dan bahkan hanya berupa rembesan. Kadang malah baru diketahui lewat pemeriksaan dokter. Bentuk dan jumlahnya pun berbeda pada setiap ibu.
Percaya mitos yang salah kaprah ini bisa membuat ibu panik atau salah membaca tanda persalinan.
Kalau ketubannya nggak “ngucur”, bukan berarti itu bukan tanda melahirkan. Jangan nunggu air terjun ya, nanti malah keburu kontraksi makin kuat!
3. “Kalau Perutnya Runcing, Bayinya Laki-laki”
Ini juga sering jadi bahan taruhan arisan. Bentuk perut disebut bisa menunjukkan jenis kelamin bayi.
Sayangnya (atau syukurnya), ini cuma mitos. Bentuk perut lebih dipengaruhi oleh posisi janin, jumlah kehamilan sebelumnya, dan bentuk tubuh ibu.
Kalau percaya mitos ini, siap-siap dikecewakan pas hasil USG keluar.

Gambar: AI/Indodailypost
4. “Banyak Tiduran Biar Bayi Nggak ‘Turun’”
Ibu hamil sering dilarang banyak bergerak, bahkan ada yang ‘dipaksa’ bed rest tanpa indikasi medis yang jelas, katanya biar bayi nggak ‘cepat turun’.
Padahal, aktivitas fisik yang ringan seperti jalan kaki malah dianjurkan oleh banyak dokter, terutama di trimester akhir. Ini membantu posisi bayi menjadi optimal dan mempersiapkan tubuh untuk persalinan.
🚶♀️ Duduk diam terus justru bisa bikin punggung makin pegal dan mengganggu sirkulasi darah.
Nggak semua capek itu tanda “bayinya mau keluar”, bisa jadi cuma tubuh minta stretching.
5. “Dokter Kandungan Bisa Meramal Kapan Lahiran”
Ini salah satu ekspektasi yang bikin dokter senyum kecut.
Faktanya, melahirkan itu proses biologis yang nggak bisa diprediksi tepat 100%. Estimasi tanggal persalinan (HPL) hanya perkiraan berdasarkan siklus menstruasi.
Bahkan dengan semua teknologi canggih, tetap saja ada variabel alami yang membuat setiap persalinan unik.
Jadi, jangan ngambek kalau dokter bilang, “Ditunggu saja ya, belum ada tanda-tanda aktif.” Itu bukan karena mereka nggak ‘pinter’, tapi karena tubuh kita bukan mesin jam.
6. “Makan Pedas Biar Cepat Kontraksi”
Ritual makan sambal di minggu-minggu terakhir kehamilan? Cukup populer.
Sayangnya, tidak ada bukti ilmiah kuat yang menyatakan makanan pedas bisa memicu kontraksi atau mempercepat persalinan.
Kalau perutnya kuat, silakan saja. Tapi kalau malah kena diare dan asam lambung naik, yang repot malah ibu sendiri.
Jangan sampai usaha mempercepat lahiran malah berakhir di IGD karena mules bukan kontraksi!
7. “Kalau Lahiran Normal, Ibu Lebih Hebat!”
Ini nih mitos yang diam-diam menyakiti banyak hati ibu.
Proses melahirkan, baik normal, sesar, atau lewat bantuan induksi, semuanya valid dan berani. Tidak ada yang lebih hebat satu sama lain.
Stigma ini justru bisa memicu depresi pascamelahirkan. Setiap ibu punya cerita unik, termasuk tantangannya sendiri-sendiri.
Yang penting: ibu dan bayi sehat. Bukan metode lahirannya.
Dampak dari Mitos-Mitos Ini

Gambar: AI/Indodailypost
Sering kali, percaya mitos yang salah kaprah justru bikin stres berkepanjangan. Ada ibu yang jadi takut makan ini-itu, ada yang ngerasa gagal karena lahirannya beda dari yang “ideal versi masyarakat.”
Secara emosional, ini bisa meninggalkan trauma dan rasa tidak percaya diri. Dari sisi kesehatan, bisa membuat keputusan penting diambil bukan berdasarkan fakta medis, tapi tekanan sosial.
Padahal, banyak dari mitos ini lucunya pol tapi akurasinya nol. Mempercayai mitos hanya karena “kata orang dulu” bisa berujung ke informasi yang membingungkan, bahkan membahayakan.
Karena Setiap Ibu Punya Jalannya Sendiri
Melahirkan itu bukan seperti ujian sekolah yang ada kunci jawaban tetapnya. Setiap tubuh berbeda. Setiap proses punya cerita dan kekuatan yang tidak bisa dibandingkan.
Jangan biarkan mitos-mitos lama mencuri rasa percaya diri dan kebahagiaan yang seharusnya jadi milik ibu.
Toh, melahirkan bukan ujian biologi, jadi jangan percaya sama soal-soal ngawur!
Mari lanjutkan obrolan ini dengan lebih banyak tawa dan lebih banyak pengetahuan. Karena edukasi ibu hamil bukan cuma soal nutrisi dan kontraksi, tapi juga tentang membongkar mitos dan membangun mental yang kuat dan bahagia.

