Kesehatan mental menjadi perhatian besar beberapa tahun belakangan. Coba buka media sosial, tonton berita, atau bahkan duduk di ruang tunggu dokter—semuanya terasa penuh tekanan. Bukan cuma kamu yang merasa begitu. Menurut data dari Riskesdas 2018, lebih dari 6% penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional, termasuk kecemasan. Angka ini bahkan diprediksi meningkat pascapandemi. Pertanyaannya, mengapa begitu banyak orang merasa tertekan di era modern ini?
Daftar isi
Fenomena gangguan kecemasan atau anxiety disorder kini semakin sering terdengar. Bukan lagi masalah yang “tersembunyi”, kecemasan mulai menjadi obrolan umum, terutama di kalangan anak muda. Sayangnya, masih banyak yang belum benar-benar memahami apa itu gangguan kecemasan, apalagi cara mengelolanya.
Memahami Anxiety

Gambar: AI
Jadi, sebenarnya apa itu anxiety? Secara sederhana, kecemasan adalah reaksi alami tubuh saat menghadapi stres. Tapi ketika kecemasan ini terus muncul, bahkan tanpa pemicu yang jelas, dan mulai mengganggu aktivitas sehari-hari, maka kita sedang berhadapan dengan gangguan kecemasan.
Gangguan kecemasan bukan sekadar perasaan gugup sebelum presentasi atau deg-degan waktu menunggu hasil ujian. Ini jauh lebih dalam dan kompleks. Seseorang dengan gangguan ini bisa merasa cemas sepanjang waktu, bahkan tanpa alasan jelas. Penting untuk membedakan kecemasan biasa dan gangguan kecemasan, agar kita bisa memberikan empati, bukan stigma.
Dan ya, gangguan kecemasan bukan kelemahan, tetapi tantangan yang bisa diatasi.
Faktor Penyebab Anxiety
Di balik meningkatnya kasus gangguan kecemasan, ada banyak faktor pemicu. Tekanan sosial di era modern adalah salah satunya. Persaingan kerja yang tinggi, gaya hidup cepat, serta ekspektasi masyarakat yang makin tak realistis bisa membuat siapa pun merasa kewalahan.
Belum lagi dampak buruk media sosial terhadap kesehatan mental. Scroll Instagram atau TikTok dan kamu akan melihat hidup orang lain yang tampaknya “sempurna”. Perbandingan sosial ini seringkali memicu perasaan tidak cukup baik.
Cyberbullying juga memperburuk keadaan. Menurut data dari Kominfo, 49% pengguna internet di Indonesia pernah mengalami kekerasan di dunia maya. Ini tidak hanya menyakitkan, tapi bisa meninggalkan luka psikologis jangka panjang.

Gambar: AI
Jangan lupa, faktor biologis juga berperan. Riwayat keluarga dengan gangguan mental dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami anxiety. Ada juga faktor hormon dan ketidakseimbangan kimia otak yang turut memperburuk kondisi.
Contohnya? Seorang teman saya, Dita, merasa cemas luar biasa tiap kali harus berinteraksi dengan orang baru. Ternyata, sang ibu pernah mengalami kondisi serupa di masa mudanya. Ini menunjukkan bahwa gangguan kecemasan bukan hanya akibat lingkungan, tapi bisa juga karena genetika.
Gejala dan Dampak
Gejala kecemasan bisa muncul dalam berbagai bentuk. Secara fisik, penderita bisa mengalami jantung berdebar, berkeringat dingin, nyeri dada, hingga gangguan tidur. Secara emosional, mereka merasa takut, gugup, atau bahkan panik tanpa alasan.
Perilaku juga ikut berubah. Beberapa orang menghindari situasi sosial, mudah tersinggung, atau terlalu perfeksionis. Masalahnya, banyak yang menyepelekan gejala ini karena mengira itu hanya “capek biasa”.
Dampaknya? Jangan diremehkan. Gangguan kecemasan bisa menurunkan kualitas hidup secara drastis. Hubungan sosial terganggu, produktivitas menurun, dan dalam beberapa kasus, bisa memicu depresi atau bahkan keinginan bunuh diri. Karena itu, mengenali gejala kecemasan sejak dini sangat penting.
Strategi Mengatasi Axienty Gangguan Kesehatan Mental
Untungnya, ada banyak cara mengatasi anxiety yang bisa dilakukan, baik secara mandiri maupun dengan bantuan profesional. Salah satu teknik paling efektif adalah relaksasi.
Mulailah dengan pernapasan dalam atau deep breathing. Ketika kamu menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, tubuh secara alami merespons dengan menurunkan ketegangan.
Meditasi dan yoga juga terbukti membantu. Penelitian dari Harvard Medical School menyebutkan bahwa meditasi mindfulness bisa menurunkan aktivitas amigdala, bagian otak yang mengatur rasa takut.
Selain itu, gaya hidup sehat sangat berpengaruh. Olahraga rutin, pola tidur yang cukup, dan konsumsi makanan bergizi bisa membantu menyeimbangkan hormon dan memperbaiki suasana hati.

Gambar: AI
Tapi yang paling penting adalah dukungan kesehatan mental. Jangan ragu bicara dengan orang terdekat atau mencari bantuan profesional. Psikolog, psikiater, atau konselor bisa memberikan pendekatan yang tepat sesuai kondisi masing-masing.
Oh, dan jangan lupakan strategi inovatif. Beberapa orang merasa terbantu dengan terapi seni, entah itu melukis, menulis puisi, atau bermain musik. Ada juga yang memelihara hewan terapi seperti anjing atau kucing untuk membantu menurunkan rasa cemas dan menjaga kesehatan mental.
Satu hal yang perlu dipahami adalah masalah gangguan kecemasan setiap orang itu berbeda. Jadi, penting untuk menemukan strategi penanganan masalah kesehatan mental yang cocok dengan kebutuhan pribadi.
Gangguan kecemasan bukan sesuatu yang harus disembunyikan atau ditakuti. Ini adalah bagian dari realitas hidup modern, dan semakin cepat kita memahaminya, semakin baik kita bisa mengelolanya.
Mari kita melawan stigma kesehatan mental bersama-sama. Jangan menghakimi, tapi bantu mereka yang butuh dukungan. Dengan pengetahuan dan empati, kita bisa mengubah kecemasan menjadi kekuatan.
Dan jika artikel ini terasa relevan, bagikanlah. Mungkin ada seseorang di luar sana yang diam-diam sedang berjuang dan butuh tahu bahwa mereka tidak sendirian.