Daftar isi
Ketika Susu Jadi Raja di Meja Makan
Pernah dengar kalimat legendaris ini? “Kalau belum minum susu, belum sempurna!”
Bagi generasi 80-an dan 90-an, itu bukan sekadar slogan—itu dogma. Kita tumbuh dengan konsep 4 Sehat 5 Sempurna, sebuah kampanye edukasi gizi yang merasuk ke buku pelajaran, iklan TV, bahkan kotak bekal sekolah.
Namun, dunia berubah. Apa yang dulu dianggap “sempurna”, sekarang dipertanyakan ulang. Bukan karena konsep itu salah, tapi karena ilmu gizi terus berkembang, gaya hidup berubah, dan kebutuhan nutrisi menjadi lebih kompleks.

Gambar: AI/Indodailypost
Kini, muncul pendekatan baru bernama Pedoman Gizi Seimbang—lebih fleksibel, lebih kontekstual, dan katanya… lebih relevan. Tapi apa iya konsep lama sudah tak berguna?
Mari kita gali lebih dalam, dari nostalgia susu hingga simfoni nutrisi masa kini.
Makna dan Komponen 4 Sehat 5 Sempurna
Sebelum menilai, kita perlu paham dulu: apa sebenarnya isi dari 4 Sehat 5 Sempurna itu?
1. Makanan Pokok
Nasi, jagung, roti—sumber karbohidrat yang jadi “bahan bakar” utama tubuh.
2. Lauk Pauk
Protein hewani dan nabati, seperti ayam, ikan, tahu, tempe. Inilah bahan bangunan tubuh kita.
3. Sayur
Sumber serat dan vitamin yang membantu sistem pencernaan dan imunitas.
4. Buah
Tambahan vitamin dan mineral, serta antioksidan alami.
5. Susu
Elemen pamungkas. Susu dianggap sebagai pelengkap nutrisi, kaya kalsium dan protein.
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Poorwo Soedarmo, bapak gizi Indonesia, pada tahun 1950-an. Tujuannya mulia: membentuk pola pikir masyarakat tentang pentingnya nutrisi harian secara sederhana dan mudah diingat.
Dan jujur aja, waktu itu kampanye ini cukup berhasil. Bahkan hingga kini, banyak orang tua masih mengajarkan konsep ini ke anak-anaknya.
Perubahan Gaya Hidup dan Tantangan Gizi Modern
Zaman berubah cepat—dan begitu juga dengan tubuh dan kebutuhan kita. Dulu, orang lebih banyak bergerak, makan lebih alami. Sekarang? Kita duduk lebih lama, scroll layar lebih sering, dan makanan cepat saji jadi andalan.

Gambar: Ai/indodailypost
Urbanisasi dan Pola Hidup Sedentari
Kita tak lagi membajak sawah atau jalan kaki puluhan kilometer. Aktivitas fisik berkurang drastis, tapi asupan kalori tetap tinggi.
Alergi, Intoleransi, dan Diet Alternatif
Susu yang dulu diagungkan, sekarang jadi sumber masalah bagi sebagian orang—karena laktosa intoleran. Banyak juga yang memilih pola makan vegetarian, vegan, atau plant-based karena kesadaran lingkungan atau alasan kesehatan.
Makanan Instan vs. Makanan Lokal
Ironisnya, di tengah banyaknya pilihan, malnutrisi masih terjadi. Kenapa? Karena banyak yang pilih makanan praktis ketimbang makanan bergizi. Mie instan lebih mudah dimasak dibanding sayur lodeh.
Inilah yang mendorong perlunya pendekatan gizi yang lebih fleksibel, personal, dan berbasis kebiasaan nyata.
Perbandingan Konsep Lama vs Konsep Baru
Aspek | 4 Sehat 5 Sempurna | Pedoman Gizi Seimbang / Isi Piringku |
---|---|---|
Sumber Gizi | Pokok, lauk, sayur, buah, susu | Variatif sesuai kebutuhan tubuh |
Porsi & Proporsi | Tidak dijelaskan | ½ sayur & buah, ½ pokok & lauk |
Gaya Hidup | Tidak dibahas | Ditekankan: minum air putih & aktif |
Fleksibilitas | Umum untuk semua | Disesuaikan usia, aktivitas, kondisi medis |
Visualisasi | Non-visual (teks/narasi) | Visual interaktif: Isi Piringku |
Perubahan ini merefleksikan satu hal penting:
“Gizi tak sesederhana angka—tapi tentang pilihan sadar.”
Relevansi Konsep Lama di Era Kini
Pertanyaannya sekarang, apakah 4 Sehat 5 Sempurna masih berguna?
Jawabannya: ya, tapi dalam konteks yang berbeda.

gambar: AI/Indodailypost
Sebagai Nilai Edukasi Historis
Kita tidak bisa menafikan jasa konsep ini dalam membangun dasar pemahaman gizi generasi lama. Nilainya tetap penting, apalagi jika dikemas ulang dengan pendekatan masa kini.
Bisa Diadaptasi untuk Anak-anak
Misalnya, visualisasi menarik tentang “Piring Gizi Superhero”, atau cerita dongeng edukatif tentang si Susu, si Sayur, si Buah, dan kawan-kawan. Anak-anak tetap bisa mengenal konsep dasar gizi dari pendekatan naratif ini.
Dikombinasikan dengan Teknologi
Bayangkan kalau 4 Sehat 5 Sempurna dikemas ulang dalam bentuk aplikasi interaktif atau augmented reality—menjadikan edukasi gizi lebih engaging.
Dari Susu ke Seimbang
Perjalanan edukasi gizi di Indonesia adalah cermin dari perkembangan ilmu pengetahuan, perubahan sosial, dan kebutuhan akan adaptasi.
Dari masa di mana susu adalah simbol kesempurnaan, hingga kini ketika “Isi Piringku” bicara tentang harmoni, proporsi, dan keberlanjutan, kita melihat evolusi yang penting—dan perlu terus didorong.
Gizi bukan sekadar apa yang kita makan, tapi bagaimana dan mengapa kita memilihnya.
Jadi, yuk—mulai belajar lagi, bertanya lagi, dan makan dengan lebih sadar. Karena kesehatan itu bukan soal sempurna, tapi soal seimbang.