Anak Skena: Menelusuri Peran Komunitas dalam Pembentukan Jati Diri

SHARE THIS POST

Apa Sih Sebenarnya “Anak Skena” Itu?

Pernah dengar istilah “anak skena” tapi belum terlalu ngerti maksudnya? Tenang, kamu nggak sendiri.

Istilah anak skena awalnya muncul dari kalangan anak muda yang aktif di dunia musik, seni, dan budaya alternatif. Skena sendiri berasal dari kata scene, yang artinya ‘lingkup sosial atau budaya tertentu’. Jadi, anak skena adalah mereka yang tergabung dan aktif dalam satu lingkup budaya — entah itu musik indie, punk, hip-hop, seni jalanan, atau tren digital yang lagi naik daun.

Tapi akhir-akhir ini, istilah itu berkembang jadi lebih luas. Bahkan sering dipakai di medsos untuk menyindir gaya hidup yang “terlalu berusaha terlihat edgy”. Namun, kalau dikaji lebih dalam, fenomena anak skena sebenarnya adalah refleksi dari pencarian identitas, kebebasan berekspresi, dan bentuk perlawanan terhadap arus utama (mainstream).

Itulah kenapa topik ini menarik banget. Bukan cuma soal style, tapi juga menyentuh isu psikologis, sosial, dan bahkan budaya populer.


Pesona Positif dari Anak Skena

photo 2025 04 09 09 23 18
Gaya keren Skena.
Foto: Instagram @Anapputri
1. Solidaritas dan Rasa Memiliki yang Kuat

Salah satu hal paling menonjol dari komunitas anak skena adalah rasa solidaritas yang luar biasa kuat. Mereka punya prinsip “lo ngerti gue, gue ngerti lo”. Ada ikatan emosional yang tercipta karena punya ketertarikan yang sama — entah itu band indie lokal, seniman jalanan favorit, atau bahkan tipe fotografi yang khas.

Baca Juga:  Merayakan Idul Fitri dengan Lebih Ramah Lingkungan: Kurangi Limbah, Jaga Bumi

Eksklusivitas dan solidaritas dalam komunitas anak muda ini bisa jadi tempat nyaman buat mereka yang merasa “nggak cocok” dengan lingkar sosial pada umumnya.

2. Ruang Bereksperimen dan Mengekspresikan Kreativitas

Anak skena sering kali adalah orang-orang yang nggak takut tampil beda. Lewat gaya berpakaian, cara ngomong, pilihan musik, atau karya seni yang mereka buat — semua itu jadi wadah ekspresi diri yang otentik.

Kalau kamu lihat anak-anak yang tampil nyentrik di gigs musik atau event mural, kemungkinan besar mereka bukan cuma pengunjung. Mereka bagian dari kultur itu. Mereka seniman, musisi, fotografer, penulis zine, atau pegiat konten digital. Ini bikin skena budaya jadi mesin kreatifitas yang terus hidup dan berkembang.

3. Jejaring Sosial yang Erat dan Mendukung

Koneksi yang terbentuk di dalam komunitas ini bukan sekadar “teman nongkrong”. Tapi bisa berkembang jadi kolaborasi yang serius dan produktif.

Contohnya, musisi lokal bisa dapet fotografer dari teman komunitasnya, atau desainer kaus dapat klien dari sesama anak skena. Mereka saling dorong, saling angkat. Beberapa kreator bahkan bilang kalau awal karier mereka dimulai dari nongkrong bareng anak skena.

4. Sumber Inspirasi dari Subkultur yang Kaya

Anak skena bukan cuma mengikuti tren, mereka juga kerap menciptakan tren. Dari punk, emo, goth, sampai vaporwave dan glitch art, beragam subkultur memengaruhi pola pikir dan estetika anak muda masa kini. Dan yang menarik, mereka bisa saling tumpang tindih tanpa harus saling meniadakan. Ini yang bikin anak skena sering terlihat unik, out of the box, dan punya pemikiran yang berlapis.


Sisi Gelap dari Dunia Anak Skena

photo 2025 04 09 09 17 29
Foto: Insgagram @girlsfunooftheday
1. Tekanan Sosial untuk Selalu Terlihat Keren

Di balik kebebasan berekspresi, ada tekanan sosial dalam dunia anak skena yang diam-diam membebani. Mereka dituntut untuk selalu tampil beda, edgy, dan “nggak biasa” — sampai kadang-kadang jadi terjebak dalam pencitraan. Gue pribadi pernah ngerasa harus “ikut-ikutan” dengerin musik atau pakai style tertentu supaya diterima. Dan jujur, itu bikin capek.

Baca Juga:  Cara Menghentikan Kebiasaan Multitasking pada Anak agar Otak Berkembang
2. Eksklusivitas yang Menyudutkan Orang Luar

Walau di luar kelihatan inklusif, nggak jarang skena jadi terlalu eksklusif. Kalau kamu baru datang dan belum ngerti kode-kode sosial di sana, bisa aja kamu dipandang sebelah mata. Bahkan, diskriminasi halus atau sindiran sarkastik bisa muncul terhadap yang dianggap “mainstream” atau “poser”. Inilah paradoks: mereka anti mainstream, tapi kadang justru membentuk standar baru yang lebih sempit.

3. Gaya Hidup Berisiko

Nggak semua skena, tapi sebagian memang lekat dengan gaya hidup yang berisiko — seperti konsumsi alkohol, begadang ekstrem, atau lingkungan yang toxic. Dalam beberapa kasus, ini bisa berkembang ke kecanduan dan gangguan kesehatan mental kalau nggak ditangani dengan baik.

4. Kompetisi Tak Sehat

Skena yang seharusnya mendukung kreativitas kadang berubah jadi ajang pamer. Siapa yang outfit-nya paling nyentrik? Siapa yang paling kenal band obscure? Alih-alih kolaborasi, yang muncul malah persaingan. Ini bisa bikin lingkungan jadi nggak sehat, apalagi buat yang baru mulai.

5. Terjebak Tren dan Identitas Palsu

Karena skena sering bergerak cepat, orang-orang di dalamnya terkadang merasa harus terus-menerus ikut tren. Akhirnya, yang muncul adalah identitas yang dibentuk bukan dari keinginan pribadi, tapi dari tekanan untuk “tetap relevan”. Hal ini bisa menghambat perkembangan jati diri dan bikin seseorang kehilangan arah.


Dampak Psikologis bagi Anak Skena

1. Tekanan Sosial yang Menimbulkan Stres

Kalau kamu pernah merasa cemas karena merasa “nggak cukup edgy” di komunitasmu, kamu nggak sendirian. Banyak anak muda dalam skena mengalami stres dan cemas karena standar sosial yang nggak tertulis tapi terus menghantui. Ini adalah bagian nyata dari dampak psikologis skena yang perlu diperhatikan.

2. Pembentukan Identitas yang Tidak Alami

Identitas adalah sesuatu yang dibentuk, bukan dipaksakan. Tapi dalam dunia skena, sering kali kamu merasa perlu “jadi orang lain” agar diterima. Efek jangka panjangnya bisa ke krisis identitas, bingung siapa diri sendiri sebenarnya. Ini bisa merusak rasa percaya diri, terutama bagi remaja yang masih mencari jati diri.

3. Kesenjangan Emosional

Meskipun komunitas skena terasa hangat, ada yang namanya keterasingan emosional. Kamu bisa ngerasa dekat secara kegiatan, tapi jauh secara emosional. Apalagi kalau kamu takut untuk jujur soal isi hati karena takut dianggap “nggak cukup keren”.

Baca Juga:  Tren Baru di Indonesia: Penurunan Angka Pernikahan dan Dampaknya terhadap Generasi Mendatang

Strategi Mengelola Tantangan dalam Skena

photo 2025 04 09 09 23 15
Trend outfit anak muda.
Foto: Instagram @Girlsfunooftheday
1. Kenali Nilai Diri, Jangan Hanya Ikuti Tren

Tren boleh berubah, tapi nilai pribadi harus tetap kokoh. Selalu tanya ke diri sendiri: “Gue nyaman nggak jadi kayak gini? Ini gue banget atau bukan?” Ini cara paling ampuh mengatasi tantangan dalam skena budaya tanpa kehilangan identitas.

2. Bangun Komunitas yang Inklusif

Kalau kamu udah jadi bagian dari komunitas, mulailah jadi agen perubahan. Dorong teman-teman untuk lebih terbuka, menerima pendatang baru, dan jangan nge-judge orang dari penampilan atau referensi mereka.

3. Ikut Tren Tapi Tetap Autentik

Nggak salah kok ikut tren. Tapi bijaklah memilah mana yang sesuai dengan dirimu, dan mana yang cuma bikin kamu merasa harus berubah supaya diterima. Pengaruh positif dan negatif dari gaya hidup anak skena bisa dikontrol kalau kamu tahu batas dan tujuanmu.

4. Edukasi Diri Sendiri dan Orang Lain

Ngobrol soal dampak psikologis skena bukan hal tabu. Edukasi teman-temanmu, buka forum diskusi, atau bahkan bikin konten positif soal ini. Langkah kecil bisa punya efek besar kalau dilakukan terus-menerus.

5. Dukungan Emosional Itu Penting

Jangan ragu cari bantuan. Entah itu ngobrol dengan sahabat, keluarga, atau bahkan profesional. Tekanan sosial dalam dunia anak skena bisa terasa berat banget kalau ditanggung sendirian.


Fenomena anak skena itu luas dan kompleks.

Di satu sisi, dia adalah wadah ekspresi, kreativitas, dan solidaritas komunitas anak muda. Tapi di sisi lain, juga bisa menjadi sumber tekanan, eksklusivitas, dan tantangan identitas yang signifikan.

Untuk kamu yang sedang atau ingin masuk ke dalam skena budaya, ingat satu hal penting: jadilah versi terbaik dari dirimu sendiri, bukan versi ideal orang lain.

Karena skena yang sehat bukan soal siapa paling keren, tapi siapa yang bisa bikin orang lain merasa diterima.