Tren Baru di Indonesia: Penurunan Angka Pernikahan dan Dampaknya terhadap Generasi Mendatang

SHARE THIS POST

Pernikahan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak individu yang memilih untuk menunda atau bahkan menghindari pernikahan. Fenomena ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pribadi, tetapi juga oleh perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih luas. Artikel ini akan membahas tren penurunan angka pernikahan di Indonesia, faktor penyebabnya, serta dampaknya terhadap masyarakat.

Data dan Fakta

pexels cottonbro 4098366
Ilustrasi. (Pexels.com)

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pernikahan di Indonesia telah mengalami penurunan yang cukup drastis dalam beberapa tahun terakhir. Di tahun 2023, tercatat 1.577.255 pernikahan, mengalami penurunan angka pernikahan dari 1,71 juta pernikahan yang tercatat pada tahun sebelumnya. Penurunan ini sejalan dengan tren menurunnya jumlah pernikahan yang tercatat dalam lima tahun terakhir.

Selain itu, data juga menunjukkan adanya pergeseran dalam usia pernikahan pertama. Sekitar tahun 1971 wanita Indonesia umumnya menikah di usia 19 tahun. Namun, pada tahun 2017, angka ini telah meningkat menjadi 23 tahun. Hal ini menggambarkan adanya perubahan signifikan dalam pola pikir masyarakat, terutama di kalangan generasi muda yang kini lebih memilih untuk memprioritaskan pendidikan dan karier sebelum menikah sehingga memicu tren penurunan angka pernikahan.

Faktor Penyebab

Berbagai faktor yang saling terkait berkontribusi pada penurunan angka pernikahan di Indonesia, diantaranya adalah :

  • Pendidikan dan Pekerjaan bagi Perempuan 
    Akses yang lebih besar terhadap pendidikan tinggi dan peluang karier membuat banyak perempuan di Indonesia menunda pernikahan. Keinginan untuk mengejar karier atau mencapai stabilitas finansial sering kali mengalahkan dorongan untuk segera menikah. Selain itu, masih ada stereotip yang berkembang bahwa menikah di usia muda bisa menghambat perkembangan karier, sehingga banyak perempuan berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk menikah.
  • Biaya Hidup yang Tinggi di Perkotaan
    Kehidupan di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung sangatlah mahal. Biaya hidup yang tinggi, mulai dari harga rumah, biaya transportasi, hingga kebutuhan sehari-hari, sering kali membuat pasangan merasa belum siap untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Banyak orang memutuskan untuk menunda pernikahan sampai mereka mencapai kestabilan finansial yang lebih baik.
  • Perubahan Norma Sosial
    Dengan berjalannya waktu, pandangan masyarakat terhadap pernikahan juga berubah. Pada generasi sebelumnya, menikah di usia muda adalah norma yang dianggap penting dalam masyarakat. Namun, kini semakin banyak generasi muda yang melihat pernikahan sebagai pilihan, bukan sebagai kewajiban. Kampanye semacam “Marriage is Scary” mencerminkan ketakutan terhadap komitmen jangka panjang dan tantangan finansial yang biasanya menyertai pernikahan.

Faktor-faktor tersebut telah memicu terjadinya penurunan angka pernikahan di kalangan muda.

pexels rdne 6670304
Ilustrasi. (Pexels.com)

Implikasi dari Tren “Enggan Menikah”

Penurunan angka pernikahan tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga membawa implikasi besar bagi berbagai aspek kehidupan sosial dan demografis di Indonesia.

  • Dampak pada Tingkat Kesuburan
    Salah satu dampak langsung dari penundaan pernikahan adalah penurunan tingkat kesuburan. Dalam banyak situasi, pasangan yang menunda pernikahan biasanya juga cenderung menunda untuk memiliki anak. Hal ini dapat memengaruhi angka kelahiran di masa depan dan berpotensi memengaruhi laju pertumbuhan penduduk di Indonesia, yang sebelumnya sangat bergantung pada jumlah penduduk muda.
  • Potensi Dampak Demografis
    Penurunan angka pernikahan juga bisa berdampak pada struktur demografi di Indonesia. Jika semakin banyak generasi muda yang memilih untuk tidak menikah atau memiliki anak lebih sedikit, maka Indonesia akan menghadapi masalah ketimpangan generasi. Hal ini dapat mengarah pada populasi yang semakin tua dengan proporsi yang lebih sedikit dari penduduk usia produktif.
  • Perspektif Sosial dan Ekonomi
    Secara sosial, tren ini dapat mengubah pola hubungan antar individu dan cara orang memandang komitmen jangka panjang. Sementara itu, secara ekonomi, industri yang terkait dengan pernikahan, seperti industri perhotelan, properti, hingga sektor produk bayi, mungkin akan terdampak oleh penurunan jumlah pernikahan.

Kasus Global sebagai Pembanding

pexels rdne 6669876
Ilustrasi. (Pexels.com)

Fenomena penurunan angka pernikahan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara maju. Di Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan, terjadi penurunan angka pernikahan yang signifikan, dengan alasan serupa seperti di Indonesia—akses pendidikan, biaya hidup yang tinggi, serta perubahan nilai sosial dan budaya.

Di Prancis, pemerintah mencoba mengatasi masalah ini dengan memberikan insentif keuangan kepada pasangan yang menikah atau memiliki anak. Kebijakan seperti ini dapat menjadi contoh bagi Indonesia dalam merancang program yang mendorong pasangan untuk menikah dan memiliki anak. Beberapa negara telah berhasil memperkenalkan kebijakan yang menguntungkan untuk meningkatkan angka pernikahan dan kesuburan, dan Indonesia dapat mempelajari strategi tersebut.

Sebuah Tantangan Baru Kehidupan Modern

Penurunan angka pernikahan di Indonesia adalah fenomena yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Keputusan untuk menunda atau menghindari pernikahan tidak hanya memengaruhi individu, tetapi juga memiliki dampak jangka panjang terhadap masyarakat dan negara.

Untuk mengatasi tren ini, beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

– Edukasi finansial: Memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai perencanaan keuangan bagi generasi muda, agar mereka merasa lebih siap untuk menjalani kehidupan berumah tangga.

– Kebijakan insentif: Pemerintah dapat memperkenalkan kebijakan yang mempromosikan pernikahan dan kelahiran, seperti memberikan insentif keuangan kepada pasangan yang menikah atau memiliki anak.

– Kesadaran tentang keseimbangan hidup: Meningkatkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan antara karier dan kehidupan pribadi, agar kehidupan rumah tangga tidak lagi dianggap sebagai penghalang bagi karier.

Dalam jangka panjang, tren ini akan tetap menjadi tantangan, namun juga bisa menjadi peluang untuk membentuk masyarakat yang lebih inklusif dan adaptif terhadap perubahan zaman. Untuk itu, kebijakan yang mendukung kehidupan keluarga dan kesejahteraan sosial perlu menjadi perhatian utama bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia.