Bayangkan laut sebening kristal, pulau-pulau karst yang menjulang seperti lukisan dewa, dan dunia bawah laut yang jadi rumah bagi lebih dari 75% spesies karang dunia. Raja Ampat bukan hanya sekadar destinasi wisata—ia adalah mahakarya alam yang nyaris suci. Sebuah “surga terakhir di Bumi,” begitu banyak orang menyebutnya.
Daftar isi
Namun belakangan ini, kabar yang mencuat dari Papua Barat tak lagi hanya tentang keindahan ekosistem laut, atau tentang ikan pari manta yang berenang anggun di Misool. Yang mulai ramai dibicarakan adalah sesuatu yang berkilau tapi membawa bahaya: nikel.

Yup, si logam abu-abu yang kini jadi primadona industri kendaraan listrik itu ternyata menyimpan dua wajah. Di satu sisi, dia menjanjikan masa depan hijau. Tapi di sisi lain, ia mengancam kehijauan nyata yang sudah ada ribuan tahun di Raja Ampat.
Dan di sinilah letak konflik antara ekonomi dan ekologi yang membuat banyak pihak gelisah.
Kilau Nikel yang Menyilaukan Masa Depan
Permintaan global terhadap nikel melonjak drastis. Logam ini merupakan bahan baku penting dalam pembuatan baterai lithium-ion untuk kendaraan listrik—yang katanya jadi penyelamat iklim. Permintaan nikel kelas satu diprediksi akan mencapai 3 juta ton per tahun pada 2030, dan Indonesia duduk manis sebagai salah satu penghasil utama.
Papua Barat, secara khusus, kini masuk radar investasi karena cadangan nikel laterit di wilayahnya dianggap sangat potensial. Perusahaan tambang mulai berdatangan. Janji-janji pembangunan, lapangan kerja, hingga dana kompensasi pun mulai digaungkan.
Tapi tunggu dulu… pembangunan buat siapa? Dan atas nama siapa?
Buat masyarakat adat, terutama Suku Maya (atau Ma’ya) yang telah lama hidup berdampingan dengan alam Raja Ampat, tambang bukanlah solusi. Mereka tidak meminta eskavator. Mereka meminta agar laut tetap bersih, agar anak cucu masih bisa mengenal burung cendrawasih bukan lewat foto.
Kekayaan Hayati Versus Logam Langka
Eksploitasi nikel, meskipun dilakukan di daratan, akan tetap berdampak besar terhadap laut. Terutama di wilayah seperti Raja Ampat, di mana darat dan laut saling bersinergi secara ekologis.
Pembuangan limbah tambang, sedimen, dan potensi tumpahan bahan kimia ke sungai bisa mencemari laut. Jika sudah begitu, terumbu karang yang indah itu akan memutih. Ikan-ikan akan pergi. Dan nelayan lokal? Mereka akan kehilangan mata pencaharian.

Foto: Rizalubun – Wikipedia
Menurut laporan WALHI Papua Barat (2023), beberapa wilayah di kawasan Tambrauw dan Sorong Selatan yang memiliki potensi nikel kini masuk tahap eksplorasi. Artinya, jika tidak ada pengawasan ketat dan penolakan kuat, eksploitasi alam bisa menjadi kenyataan dalam beberapa tahun ke depan.
Dan ini bukan hanya soal “alam rusak”, ini soal sistem hidup yang terancam.
Identitas Budaya di Ambang Erosi
Masyarakat adat di Raja Ampat, termasuk Suku Maya, tidak hidup sekadar mencari makan dari laut atau hutan. Mereka punya hubungan spiritual dengan alam. Gunung bukan hanya tanah, laut bukan hanya tempat memancing. Semua bagian dari identitas.
Bayangkan jika wilayah adat mereka digusur untuk membuka jalan tambang.
Apa yang akan terjadi dengan rumah adat, dengan kebun sagu, dengan ritual laut yang diwariskan turun temurun?
Eksploitasi nikel bisa menjadi pintu masuk ke penghapusan nilai-nilai leluhur. Dan itu bukan asumsi—itu realita yang sudah terjadi di banyak tempat lain di Indonesia.
Kita berbicara soal warisan leluhur di bawah bayang-bayang ekskavator. Pilihan itu akan memengaruhi tidak hanya ekosistem, tapi juga seluruh peradaban kecil yang telah bertahan selama ratusan tahun.
Momen Frustasi: Apakah Harus Selalu Begini?
Saya pernah ngobrol sama seorang pemandu lokal di Pulau Arborek. Namanya Pak Daud. Umurnya mungkin sudah 60-an, kulitnya legam, matanya penuh cerita. Saat saya tanya soal kabar tambang, dia cuma tertawa—pahit.
“Banyak yang datang bawa peta, bilang tanah ini kaya. Tapi mereka enggak pernah nanya, kami mau apa,” katanya.
Kalimat itu terus terngiang. Sesederhana itu. Karena masalahnya memang bukan cuma soal nikel atau uang. Ini tentang didengarkan atau tidak.
Harapan dari Barisan Penjaga Surga
Meski bayangan eksploitasi menakutkan, bukan berarti semua harapan padam. Yayasan konservasi lokal seperti Yayasan Misool Baseftin mendorong ekowisata berbasis komunitas. Misool Eco Resort menjadi contoh keberhasilan konservasi yang tidak hanya menjaga ekosistem laut, tapi juga memberikan pemasukan tetap bagi warga.
Ekowisata, jika dikelola dengan bijak, bisa menjadi jalan tengah antara keberlanjutan dan kesejahteraan.
Selain itu, pelatihan konservasi untuk pemuda lokal, penjagaan terumbu karang oleh masyarakat sendiri, dan edukasi soal pentingnya keanekaragaman hayati makin gencar dilakukan.
Di sinilah letak optimisme itu tumbuh. Bukan dari pemerintah pusat, bukan dari perusahaan tambang, tapi dari mereka yang benar-benar tinggal dan hidup di sana.
Tambang Bukan Jalan Satu-Satunya
Papua Barat punya potensi besar bukan karena mineralnya saja. Tapi karena kekayaan budayanya, alamnya, dan semangat kolektif masyarakatnya.
Jika potensi ini diberdayakan secara adil dan berkelanjutan, maka masa depan tidak harus bergantung pada logam langka. Sebaliknya, kekayaan alam bisa tetap lestari dan memberikan kehidupan tanpa harus dihancurkan.

Nugroho Arif Prabowo – Wikipedia
Tapi memang, jalan ini bukan yang instan. Butuh waktu. Butuh niat. Dan yang paling penting: butuh kemauan politik dan keberanian dari semua pihak untuk mengatakan “tidak” pada eksploitasi yang merusak.
Eksploitasi Sesaat Raja Ampat atau Warisan Berkelanjutan?
Saat dunia berlomba mencari energi terbarukan, kita tidak boleh lupa bahwa “hijau” tidak selalu berarti ramah lingkungan jika caranya merusak tempat lain. Jangan sampai kita menyelamatkan satu planet dengan menghancurkan salah satu surga terakhirnya.
Kita tidak sedang bicara tentang menolak kemajuan. Kita sedang bicara tentang arah kemajuan. Apakah kita ingin generasi mendatang mengenal Raja Ampat lewat majalah National Geographic, atau lewat kenangan orang tua mereka?
Raja Ampat bukan hanya aset Papua Barat. Ia adalah harta dunia. Maka menjaga ekosistem laut, masyarakat adat, dan keberlanjutan bukan hanya tugas orang Papua, tapi tugas kita semua.
Mari hentikan eksploitasi alam yang membabi buta. Mari jaga warisan leluhur yang tak tergantikan. Mari perjuangkan ekowisata yang adil dan benar.
Karena ketika kilau nikel menyilaukan masa depan, kita harus berani menatapnya tanpa silau.