Attention Prison: FOMO TikTok dan Krisis Mental pada Gen Z & Alpha

SHARE THIS POST

“Gue tuh panik kalau sejam nggak buka TikTok, ngerasa kayak ada yang ketinggalan banget.”

Kalimat itu terdengar seperti candaan khas Gen Z, tapi kenyataannya bukan lelucon. Banyak anak muda sekarang merasa tidak tenang kalau belum melihat For You Page (FYP) mereka dalam satu jam terakhir. Fenomena ini bukan hanya sekadar “gabut”, tapi mengarah pada satu gejala psikologis yang semakin meresap: FOMO—Fear of Missing Out.

Dan TikTok? Ia bukan sekadar platform hiburan. Ia adalah mesin yang sangat pintar dalam membuat kita betah, terus menatap layar, scrolling tanpa sadar—dan lelah tanpa alasan.


Saat FOMO Menyelinap di Setiap Swipe

Copilot 20250623 183318
Ilustrasi.
AI/Indodailypost

FOMO bukan istilah baru. Tapi kehadirannya menjadi sangat menonjol sejak media sosial menjelma jadi ruang eksistensi. Dulu orang takut ketinggalan gosip. Sekarang? Takut ketinggalan tren, challenge, bahkan twist dari drama viral terbaru di TikTok.

Apalagi dengan TikTok yang punya karakteristik sangat adiktif: video pendek, algoritma personal, dan endless scroll. Konten masuk terus, satu demi satu, tanpa memberi otak waktu jeda. Dan di sanalah letak masalahnya.

TikTok tak hanya membuat kita ingin tahu lebih banyak. Ia membuat kita merasa harus tahu. Kalau nggak, rasanya tertawa tapi hampa.


Algoritma, Dopamine, dan Perang atas Perhatian

Mari kita bahas secara teknis, tapi tetap santai. TikTok bekerja dengan algoritma rekomendasi berbasis perilaku. Artinya, semakin kamu menonton video tentang life hacks, konspirasi, atau dance challenge, makin sering pula jenis konten itu dimunculkan.

Baca Juga:  Transformasi Media Sosial: Mengguncang Etika dan Nilai Budaya di Era Digital

Apa yang membuat kita kecanduan bukan cuma kontennya. Tapi efek dopamine dari tiap kejutan visual dan audio yang pas. Otak kita suka kejutan. Dan TikTok adalah ahlinya memberi dopamine spikes kecil secara terus-menerus.

Bayangkan ini seperti mesin slot digital. Setiap swipe adalah taruhan akan hiburan. Kadang biasa aja, kadang sangat lucu atau emosional. Pola ini disebut reward loop—kita terus mencoba karena kadang-kadang hasilnya luar biasa.

Inilah saat algoritma menyentuh psikologi. Kita berpikir kita mengontrol konten, padahal kitalah yang sedang dikontrol. Inilah layar yang memenjarakan perhatian.


Ketergantungan yang Terasa Normal

Saking halusnya efek TikTok, banyak yang tak sadar sudah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk “scroll bentar aja”. Satu jam. Dua jam. Tahu-tahu, hari sudah sore.

Ini bukan cuma soal waktu. Ini soal ketergantungan yang terasa normal.

Beberapa dampaknya antara lain:

  • Gangguan tidur: Paparan cahaya biru dan overstimulasi otak bikin susah tidur.
  • Menurunnya konsentrasi: Otak terbiasa dengan info cepat → sulit fokus di dunia nyata.
  • Cemas sosial: Takut nggak update bisa bikin minder dan tidak percaya diri saat ngobrol.
  • Burnout digital: Tubuh dan otak lelah, tapi nggak tahu kenapa. Padahal penyebabnya layar.

“Wajah di Depan Kamera, Diri yang Tak Sempat Dibaca”

Copilot 20250623 183921

Fenomena TikTok bukan cuma soal penonton, tapi juga kreator. Banyak anak muda berlomba tampil, menunjukkan versi terbaik dari diri mereka. Tapi ironisnya, versi terbaik itu kadang justru menjauh dari siapa mereka sebenarnya.

Ada tekanan untuk terlihat bahagia, lucu, estetik. Tapi di balik semua itu, seringkali ada rasa kosong. Seorang remaja pernah bilang, “Gue bikin video biar nggak ngerasa sendirian. Tapi habis upload, malah makin overthinking.”

Baca Juga:  Bebas Distraksi! Cara Efektif Menggunakan Aplikasi Pemblokir Notifikasi dan Mode Fokus

Inilah saat kita perlu bertanya: apakah kita sedang mengekspresikan diri, atau sedang mengejar validasi?


Generasi Alpha & Z: Tumbuh Bersama Layar

Anak-anak sekarang tidak mengenal dunia tanpa internet. Generasi Z dan Alpha tumbuh bersama TikTok, YouTube Shorts, dan Reels. Mainan mereka? Aplikasi. Teman mereka? Avatar. Hiburan mereka? Swipe.

Di satu sisi, ini membuka peluang kreativitas. Anak SD bisa jadi kreator dengan jutaan views. Tapi di sisi lain, mereka belum punya kontrol emosi yang matang untuk menghadapi tekanan dunia maya.

Ada perubahan besar dalam gaya hidup:

  • Lebih suka interaksi digital ketimbang tatap muka
  • Kepercayaan diri sering bergantung pada jumlah likes atau views
  • Mudah membandingkan diri dengan orang lain, bahkan yang tidak nyata

Dan satu yang mengkhawatirkan: anak-anak ini belajar bahwa eksistensi = eksposur. Kalau tidak tampil, mereka merasa tidak ada.


Orang Tua & Guru: Menemani, Bukan Melarang

Mari jujur—kita tidak bisa memisahkan anak-anak dari dunia digital. Larangan total biasanya malah kontraproduktif.

Yang dibutuhkan adalah pendampingan. Literasi digital bukan soal tahu cara pakai teknologi, tapi soal memahami dampaknya terhadap kesehatan mental, identitas, dan hubungan sosial.

Guru dan orang tua bisa:

  • Mengajak anak ngobrol soal apa yang mereka tonton
  • Memberi ruang aman untuk mengekspresikan emosi
  • Mengajarkan self-regulation dan cara mengenali kelelahan digital
  • Memberi contoh nyata hidup yang tidak bergantung pada layar

Karena dalam jangka panjang, hubungan manusia lebih penting dari algoritma.


“Detoks dari Dunia Maya, Pulih di Dunia Nyata”

Copilot 20250623 183623
Ilustrasi.
AI/Indodailypost

Ada harapan. Beberapa anak muda mulai sadar bahwa ketergantungan mereka tidak sehat. Mereka mencoba dopamine detox, atau mengurangi stimulus instan dari media sosial selama beberapa hari.

Baca Juga:  Kunang-Kunang dalam Spiritualitas dan Kepercayaan: Cahaya di Tengah Kegelapan

Ada juga yang rutin menulis jurnal sebagai bentuk digital mindfulness, alias sadar sepenuhnya atas apa yang mereka rasakan dan konsumsi.

Tips sederhana tapi efektif:

  • Pasang pengingat waktu penggunaan aplikasi
  • Jadwalkan waktu “off screen” setiap hari
  • Ganti rutinitas scrolling dengan aktivitas fisik ringan
  • Praktikkan journaling untuk refleksi diri
  • Bangun koneksi nyata, seperti ngobrol langsung dengan teman atau keluarga

Intinya: kita butuh ruang untuk bernapas. Karena kadang, saking sibuknya terhubung, kita lupa merasakan kehidupan itu sendiri.


Siapa yang Sebenarnya Punya Kendali?

Akhirnya, kita harus kembali bertanya: apakah kita yang memegang ponsel, atau ponsel yang memegang kita?

Algoritma tak berniat jahat. Tapi jika kita tidak menyadari cara kerjanya, kita bisa hanyut dalam gelombangnya. Seperti terbawa arus tanpa pelampung.

Maka penting untuk berdaya sebagai pengguna. Bukan pasrah dikendalikan.

Karena kalau kita terus menerus “scroll tanpa sadar”, bisa jadi nanti kita lupa: apa yang benar-benar ingin kita lihat dalam hidup?