Dari Hashtag ke Aksi Nyata: Ketika Gen Z Menjadikan Media Sosial sebagai Alat Perjuangan Sosial

SHARE THIS POST

Apakah jempol bisa mengguncang dunia?

Dulu, jika ingin menyuarakan keadilan, orang turun ke jalan, angkat megafon, lalu berteriak lantang. Sekarang? Gen Z cukup membuka TikTok, ketik caption penuh makna, tambahkan #PayYourInterns, dan dalam hitungan jam, dunia bisa ikut berbicara.

Copilot 20250624 152412
Ilustrasi.
AI/Indodailypost

Contohnya kampanye #IndonesiaTanpaStigma. Awalnya cuma unggahan Instagram dengan testimoni korban stigma kesehatan mental. Tapi dalam sepekan, muncul 20+ media liputan, kolaborasi dengan lembaga konseling, sampai dibahas di forum kampus dan komunitas. Kekuatan itu lahir dari… jempol.

Dan jempol itu, ternyata, bisa jauh lebih kuat dari sekadar alat scroll.


Karakteristik Gen Z: Digital, Peka, dan Berani Bersuara

Gen Z — generasi yang lahir di antara tahun 1997 hingga awal 2010-an — tumbuh dalam dunia di mana Wi-Fi adalah hak dasar dan feed adalah ruang publik. Mereka melek teknologi dari usia sangat muda. Dari belajar coding dasar di sekolah hingga eksplorasi tren sosial di For You Page TikTok.

Tapi yang bikin mereka beda bukan cuma karena literasi digital yang tinggi. Mereka peka terhadap isu sosial — entah itu ketimpangan ekonomi, keadilan iklim, hak-hak minoritas, atau kesehatan mental. Mereka enggak cuma “scroll and like” — tapi juga “scroll, like, reshare, donasi, turun ke jalan.”

Coba lihat caranya mereka berkomunikasi: cepat, visual, dan sarkastis, tapi tetap berdasar nilai. Meme, carousel Instagram, bahkan voice over lucu jadi alat serius buat menyuarakan ketidakadilan.

Baca Juga:  Mengungkap Asal-Usul Zombie: Perjalanan dari Ritual Vodou ke Layar Lebar

Dan ya — mereka berani bersuara tanpa takut disensor.


Dari Story Menjadi Gerakan

Salah satu hal yang bikin Gen Z powerful banget di media sosial adalah kemampuan mereka mengubah postingan biasa jadi pergerakan nyata. Nggak jarang kita lihat thread X (dulu Twitter) yang viral, berujung ke aksi nyata di dunia offline.

Contohnya? Petisi online soal upah layak bagi magang yang viral dengan #PayYourInterns. Petisi ini bukan cuma ditandatangani puluhan ribu orang, tapi juga memicu diskusi di kalangan HR, media, bahkan DPR.

Copilot 20250624 152906
Ilustrasi.
AI/Indodailypost

Atau saat kampanye lingkungan tentang limbah fashion fast-moving brands viral di TikTok. Anak-anak muda langsung bikin gerakan “swap clothes” dan dropbox pakaian di kampus-kampus. Bukan hanya mengkritik, tapi juga menawarkan solusi.

Strategi mereka enggak main-main. Mereka pakai meme, infografik, video pendek, dan storytelling berbasis data. Bukan cuma bikin viral, tapi bikin sadar.


Media Sosial sebagai Arena Perlawanan

Kalau dulu ruang publik itu taman kota, sekarang Instagram, TikTok, dan X jadi panggung digital. Di sanalah narasi dibentuk, opini dibangun, dan solidaritas dijahit.

Gen Z ngerti banget soal framing isu — gimana cara bikin satu masalah terkesan penting, mendesak, dan relatable. Kadang cukup satu kalimat triggering, satu visual yang menyentuh, atau satu data mengejutkan.

Di balik setiap kampanye viral, selalu ada strategi komunikasi. Mereka ngerti banget kalau emosi + visual + waktu tepat = viralitas.

Tapi yang paling penting: mereka berusaha keras agar isu yang mereka angkat tidak kehilangan makna. Di tengah kecepatan viral, mereka sadar bahwa integritas pesan itu penting.


Tantangan dan Paradoks: Saat Aktivisme Bertemu Realita Digital

Namun, tentu tidak semua yang terlihat heroik di layar sama indahnya di balik layar.

Baca Juga:  Misteri Sejarah Nusantara yang Belum Terpecahkan Hingga Kini

Salah satu tantangan terbesar adalah risiko slacktivism — aktivisme semu, yang cuma berhenti di klik, share, dan like. “Gue udah repost, berarti gue peduli.” Padahal, isu itu butuh aksi nyata, bukan cuma notifikasi.

Belum lagi hoaks dan disinformasi yang kerap menyusupi gerakan digital. Di tengah laju algoritma, filter kebenaran jadi bias. Ketika narasi lebih cepat menyebar daripada klarifikasi, maka yang viral bisa jadi yang salah.

Lalu, ada juga “cancel culture” — semacam budaya main hakim sendiri atas kesalahan seseorang secara publik. Tujuannya kadang baik: menuntut pertanggungjawaban. Tapi tak jarang, itu justru menimbulkan trauma dan ketakutan bersuara.

Dan jangan lupakan ketimpangan akses digital. Tidak semua anak muda di pelosok Indonesia punya sinyal kuat, gadget layak, atau literasi digital memadai. Akhirnya, perjuangan sosial di media sosial kadang hanya jadi milik yang “terhubung.”


Dampak Nyata dan Inspirasi Masa Depan

Copilot 20250624 152633
Ilustrasi Cancel Culture.
AI/Indodailypost

Walau begitu, terlalu banyak bukti yang menunjukkan bahwa “tagar yang menggugah kesadaran” benar-benar bisa memicu perubahan nyata.

Ambil contoh #BlackLivesMatter. Dimulai dari unggahan digital, berujung ke reformasi kebijakan kepolisian di Amerika Serikat dan diskusi global tentang rasisme sistemik. Gen Z ada di barisan depan, di layar dan di jalan.

Di Indonesia? Kampanye #SahkanRUUPKS bertahun-tahun digaungkan oleh aktivis muda, akhirnya mulai dibahas lebih serius di parlemen. Banyak di antara mereka pertama kali tahu soal RUU ini bukan dari berita—tapi dari konten TikTok dan carousel Instagram.

Perubahan generasi ini nyata. Dari kesadaran digital menuju tanggung jawab sosial. Mereka tidak hanya “eksis” di media sosial, tapi “berperan.”


Membakar Semangat

Jadi… sekarang saatnya kita bertanya:
Apakah kita hanya akan menjadi penonton layar, atau ikut menyalakan gerakan?

Baca Juga:  5 Cara Membuat Konten Affiliate yang Viral di Media Sosial

Kamu nggak perlu jadi aktivis profesional buat bikin perubahan. Kadang, satu repost bisa membuka mata temanmu. Satu konten edukatif bisa memicu diskusi. Dan satu suara bisa jadi gema.

Seperti kata Amanda Gorman (aktivis muda & penyair), “For there is always light, if only we’re brave enough to see it. If only we’re brave enough to be it.”

Kalau kamu masih ragu, ingat satu hal:
“Ini bukan tentang viralitas. Ini tentang keberanian membentuk masa depan.”