Pernahkah kamu melihat seorang kreator TikTok tiba-tiba jadi “sultan” gara-gara live streaming-nya dipenuhi dengan gift Tiktok dari para fans? Sebuah gift virtual berupa stiker kecil berbentuk mawar, singa, jet pribadi, hingga galaksi tiba-tiba bisa bernilai uang sungguhan. Terdengar seperti mimpi, bukan?
Tapi… pertanyaannya, apakah ini benar-benar revolusi finansial untuk para kreator digital? Atau jangan-jangan cuma ilusi ekonomi TikTok yang rapuh?
Daftar isi
Banyak kreator saat ini memang mengandalkan gift sebagai sumber utama pendapatan, terutama mereka yang rajin live streaming. Tak sedikit pula yang meninggalkan pekerjaan tetap mereka demi menjadi full-time content creator, dengan harapan bisa hidup dari pendapatan digital yang katanya “menggiurkan”.
Namun, seperti semua hal yang tampak mudah di permukaan, ada sisi gelap dan risiko finansial yang sering luput dari sorotan. Mari kita bedah bersama—dengan pengalaman, data, dan sedikit cerita dari lapangan.
Mekanisme Gift TikTok dan Monetisasi

Foto: Anton – Pexels
Kalau kamu baru di dunia ini, sistem gift TikTok itu sederhana—secara teori. Penonton membeli coin menggunakan uang asli, lalu menukarkannya dengan stiker atau animasi virtual saat menonton live. Kreator menerima gift ini dan dapat mengonversinya menjadi “diamonds”, yang kemudian bisa ditarik menjadi uang tunai.
Tapi di sinilah “trik” dimulai.
TikTok mengambil potongan sekitar 50% dari total gift yang diterima. Misalnya, kalau seorang penonton memberikan gift senilai 100.000 coin (sekitar Rp1,5 juta), kreator hanya akan menerima separuhnya, yaitu sekitar Rp750.000. Ini belum termasuk pajak atau biaya lain tergantung wilayah.
Bandingkan ini dengan monetisasi YouTube (via AdSense), di mana pemotongan berkisar 45% dari pendapatan iklan. Atau model monetisasi lain seperti Patreon, yang hanya memotong sekitar 5–12% tergantung paket.
Monetisasi platform sosial seperti TikTok memang terlihat seksi, tetapi sebenarnya… mahal juga ya potongannya?
Dampak Finansial bagi Kreator
Di sisi lain, banyak kreator muda menganggap gift TikTok sebagai jalan pintas ke kemapanan. Dan ya, dalam beberapa kasus—memang benar. Ada yang meraup puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan hanya dari live streaming, dengan jam tayang yang konsisten dan interaksi yang intens dengan penonton.
Tapi tidak semua seberuntung itu.
Sebagian besar kreator sangat bergantung pada live gift, dan ini berbahaya. Kalau algoritma berubah (dan ini sering terjadi), atau tren konten shifting, maka traffic pun anjlok. Dan tanpa traffic, tak ada gift. Tanpa gift, ya… penghasilan menguap.
Saya pernah ngobrol dengan kreator asal Bandung yang dulunya bisa dapat Rp10 juta sebulan dari live TikTok. Tapi sejak algoritma mulai memprioritaskan konten shorter dan bukan live, dia bilang penghasilannya drop sampai tinggal Rp1,5 juta.
“Rasanya kaya ditarik dari langit langsung jatuh ke tanah,” katanya. Dan saya bisa mengerti rasa frustasinya.
Ilusi Kemakmuran atau Model Bisnis Berkelanjutan?

Foto: Geri Tech – Pexels
Pertanyaannya sekarang: apakah ini model bisnis yang berkelanjutan?
Untuk sebagian kecil kreator yang punya personal brand kuat dan audiens loyal, gift bisa jadi satu bagian dari strategi pendapatan. Tapi untuk mayoritas lainnya, yang bergantung 100% pada gift dan live streaming, ini bisa menjadi jebakan finansial jangka panjang.
Bayangkan seperti ini: kamu membangun rumah di atas tanah pinjaman. Selama pemilik tanah suka dengan rumahmu, semua aman. Tapi begitu dia berubah pikiran—kamu bisa diusir kapan saja. TikTok adalah pemilik tanahnya. Kreator? Kita cuma penyewa.
Banyak kasus kreator sukses dalam waktu singkat, lalu lenyap. Kenapa? Karena mereka tidak memiliki fondasi lain selain algoritma TikTok dan gift. Ketika gift berhenti mengalir, tak ada cadangan.
Namun, ini bukan berarti sistemnya buruk. Yang salah adalah cara kita terlalu bergantung pada satu jalur pemasukan saja.
Strategi Kreator dalam Menghadapi Perubahan
Kalau kamu kreator digital, inilah saatnya untuk bicara strategi.
- Diversifikasi pendapatan.
Mulailah menjajaki brand collaboration, jualan produk digital, atau bahkan membangun kanal di platform lain seperti YouTube atau Instagram. Jangan taruh semua telur di satu keranjang—apalagi kalau keranjangnya bisa diganti algoritma kapan aja.
- Bangun komunitas, bukan cuma followers.
Followers bisa banyak, tapi kalau mereka tidak loyal, itu sama saja kosong. Komunitas adalah orang-orang yang akan tetap mendukung kamu bahkan ketika kamu pindah platform.
- Kesadaran finansial.
Penting banget untuk belajar mengelola pendapatan digital dengan bijak. Pisahkan penghasilan, siapkan dana darurat, dan—kalau bisa—mulai investasi.
Kreator sukses bukan hanya mereka yang viral, tapi mereka yang punya rencana.
Peluang di Masa Depan

Foto: Solen Feyissa – Pexels
Jadi, apakah gift TikTok benar-benar revolusi finansial, atau cuma tren yang akan memudar?
Jawabannya tergantung dari bagaimana kreator memposisikan diri.
Jika gift digunakan sebagai salah satu pilar pendapatan, ini bisa sangat powerful. Tapi kalau dijadikan satu-satunya sumber penghasilan, maka cepat atau lambat… akan kehabisan bensin.
Rekomendasi saya untuk kreator:
- Gunakan gift sebagai penguat, bukan fondasi.
- Rutin audit keuanganmu.
- Bangun konten lintas platform.
- Fokus pada relasi, bukan hanya angka.
Dengan begitu, kamu tidak hanya menjadi kreator viral, tapi juga kreator yang tahan banting secara ekonomi.
Karena masa depan monetisasi digital akan terus berubah—dan mereka yang adaptif, bukan yang viral, yang akan bertahan.